When He Started, It Gonna Be Destroyed

Ada banyak hal di dunia ini yang selalu ingin kita dapatkan, meski tahu sebenarnya kita tidak pantas untuk hal itu. Seperti contohnya, ketika zaman-zaman blackberry belum ke luar pun, gue sudah punya cita-cita mulia ingin punya handphone bagus. Saat itu gue sadar bahwa gue masih kelas 4 SD, dan ketika gue terbangun entah kenapa gue sedemikian kepengen dan mulai merayu mama gue untuk menuntaskan satu keinginan gue tersebut yang sebenarnya rada lucu juga apabila gue ingat-ingat di masa-masa sekarang, ketika gue sudah nikmat-nikmatnya megang hape seperti Oppo F1S.
“Ma, mau dibeliin handphone!” Gue tahu tampang gue yang setengah maksa itu pasti menyebalkan. Karena nggak ada yang lebih menyebalkan daripada anak kecil yang bertingkah seakan-akan sudah besar.
“Iya … nanti mama beliin.”
Gue udah merasa bahwa hari itu gue akan senang banget. Dan benar, gue segera mendapati keinginan gue terkabul setelah mama gue balik dari belanja ke Pasar Musi.
Dan mama gue segera menghadiahi gue sebuah handphone, yang kalau gue ingat-ingat ada warna biru dan kuningnya. Dan seperti apa yang udah sangat ketebak, bahwa handphone tersebut, meski lucu, adalah hanya mainan dan pura-pura. Gue kecewa sesaat. Kenapa gue dibeliin yang beginian? Pada saat itu yang terbayang-bayang dibenak gue adalah betapa kerennya remaja-remaja yang gue lihat di stasiun televisi saling menelpon satu sama lain dengan handphone. Gue rasa otak gue telah termakan pemikiran semacam itu lewat sinetron Kepompong atau Heart Series di SCTV, deh. Iya, waktu kecil gue suka begituan.
Mungkin itu salah satu pengalaman hal nggak kesampaian yang pernah terjadi di masa-masa kehidupan gue. Semakin gue besar, semakin gue tahu bahwa di setiap harinya, setidaknya akan selalu ada satu harapan-harapan atau keinginan yang tumbuh di benak gue dan menunggu untuk direalisasikan. Dan, masalahnya adalah, tidak seluruh keinginan tersebut adalah hal yang mudah untuk direalisasikan, bahkan mungkin hanya waktu yang jadi harapan satu-satunya kita menunggu harapan tersebut untuk dapat muncul.
Ada beberapa hal kecil yang gue ingin realisasikan dan mudah untuk diwujudkan. Seperti kemarin saat tahun baru, gue memutuskan untuk membuat blog lagi dan mulai nulis di sana. Sebenarnya ini bukan kali pertama gue berkutat dengan blog, karena gue sangat ingat saat kelas 1 SMP, gue bahkan punya lebih dari sekedar blogger; gue pernah nyobain gimana rasanya Tumblr juga Wikipedia. Meski gue tahu sebenarnya ketiganya punya fungsi yang nggak jauh beda, gue masih penasaran sebelum benar-benar nyobain semuanya. Zaman itu, gue ingat banget adalah masa-masa emas gue jadi penulis di KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya), dan ribuan orang di twitter maupun facebook memberi gue kabar bahwa mereka baru saja membeli buku gue. Dan pada masa-masa itu pula gue lagi semangat banget menulis. Jadi, mungkin gue menuntaskan rasa bahagia gue dengan ngeblog dan main internet all the time, berkutat dengan para readers novel gue yang mengasyikkan dan setiap hari semakin banyak bermunculan.
Seharusnya ada banyak yang bisa gue tulis di blog saat itu, soal menulis, soal bagaimana gue menyelesaikan novel gue, soal betapa senangnya gue dengan banyaknya readers tersebut, dan lain-lain. Tapi gue hampir nggak ingat gue pernah nulis apa waktu itu di blog. Gue rasa tulisan memalukan khas anak-anak baru gede. Meski gue sudah pernah menulis banyak novel waktu itu, mau nggak mau gue juga harus menerima takdir bahwa gue masih anak berseragam putih biru yang terkadang ngaco dan menggelikan kalau sedang menulis di blog.
Sekarang? Gue nulis blog karena gue membayangkan masa-masa tersebut dan sebagian besar dari diri gue kembali berpikir; kenapa gue berhenti menulis? Udah lama sejak terakhir kali gue rajin dan produktif banget menghasilkan naskah. Terakhir gue inget gue masih semangat nulis sejak kelas 8. Iya, sekarang gue kelas 11. Dan dalam jangka waktu dari kelas 8 hingga 11 tersebut, gue terkadang berhasil menulis novel karena awalnya dipaksa atau perlu dimarah-marahin dikit dulu sama papa. Tapi itu juga karena kebetulan gue dapat ide, kalau nggak juga gue nggak mungkin menulis meski dipaksa. Karena  menurut gue, menulis bukan sesuatu yang bisa dipaksa. Gue ogah menghasilkan tulisan dengan tema yang begitu-begitu doang dan konflik yang flat dan sudah sering beredar di buku-buku lainnya. Itu yang membuat gue mentok dan akhirnya kebingungan sendiri.
Dan lagi, kehidupan remaja gue sangat amat menggoda gue untuk tidak kebanyakan menulis dan memilih ber-social networking ria saja di internet. Iya, gue jadi ngak pernah menyapa readers gue di twitter dan di facebook lagi. Yang muncul adalah hanya twit gue yang tak lain merupakan bot yang selalu berkicau setiap berapa jam sekali mempromosikan buku gue yang judulnya The Secret of Detya 2 (lanjutan yang pertama). Coba, deh, dicek twitter gue @kintanyaan. Pasti yang kelihatan ramai cuma bot itu.
Dan kembali ke topik, gue kembali ke blog. Mungkin gue sedang sedih mengingat-ingat bahwa gue sempat wasting time selama hampir 3 tahun dan menghilang begitu saja. Kini gue merasa bersalah karena gue membayangkan, mungkin saja gue sudah bisa jauh lebih baik dari yang gue bayangkan kalau saja gue tetap semangat nulis dan selalu menyapa readers gue selama itu. Iya, kini alasan gue nge-blog lagi karena gue kangen gue yang dulu suka nulis, gue yang dulu nggak pernah sepi twitter dan facebooknya, dan lain sebagainya. Gue kembali nulis. Kini gue percaya, bahwa blog adalah tempat kembalinya banyak orang; baik yang sedang bahagia atau yang bersedih. Gue pernah jadi keduanya. Haha, but, life must go on. Gue nggak nge-blog hanya karena sedih-sedih mengingat masa-masa emas gue yang kini tinggal sisa separuhnya begitu, tapi juga karena gue masih tau bahwa bakat gue nggak akan mati begitu aja. I started again though.
Satu hal yang sangat amat gue rindukan dari menulis adalah satu hal; gue akan dengan mudahnya membangun sebuah kehidupan yang gue mau. Gue mampu menghidupkan sebuah peran, kemudian, gue bisa menyingkirkan si tokoh kapan pun gue mau dan ketika gue kangen dengan si tokoh, gue bisa memunculkan yang mirip dia lagi di cerita gue selanjutnya. Gue bisa membangun sebuah tokoh dengan kehidupan yang sempurna dengan membayangkan itu adalah gue, membuat dia menjadi orang super bahagia karena gue lagi kepingin bikin dia bahagia, atau terkadang gue bikin dia jadi kena banyak masalah karena gue yang lagi kepingin juga. Haha. Apa pun yang gue inginkan, terbentang dari yang biasa aja hingga yang cukup gila, seperti membuat tokoh idaman gue punya rumah segede Masjid Kubah Mas, atau membuat dia punya sahabat yang orangtua yang tajirnya nggak tanggung-tanggung; anything. That’s the important of being a writer of a story; you created, you destroyed it, then you fixed it again.
Gue pernah membaca blog salah satu penulis novel thriller pujaan gue, Lexie Xu, dia berkata bahwa ketika menjadi seorang penulis, jadilah seorang penulis yang tegaan. Tegaan dalam artian bahwa lo harus tega dengan tokoh-tokoh yang lo lahirkan di sana; beri mereka konflik dan biarkan lo membantu mereka menyelesaikannya. Jangan diberi belas kasihan. Kalau bisa sampai si tokoh-tokoh tersebut meminta belas kasihan dengan mendatangi penulisnya langsung ke dalam mimpi, haha. Cerita yang bagus tidak lain karena punya konflik yang juga greget, kan? That’s the point.
Kembali lagi ke kalimat gue di awal post ini, bahwa beberapa hal di dunia ini akan sangat sulit untuk lo buat nyata cepat-cepat. Iya, misalnya, seperti keinginan gue masuk UI jurusan Psikologi, misalnya. Nggak mungkin besok gue langsung masuk begitu aja meskipun gue malem ini habis belajar habis-habisan. Cuma waktu yang bisa membuktikan hal tersebut bakal kecapai atau enggak.
Tapi, di dalam cerita, sebagai penulis, lo akan merasa bebas untuk menentukan seberapa cepat sesuatu untuk terjadi tanpa seorang pun yang dapat mengkritik lo soal kebijakan tersebut. Misalnya, kita sering menjumpai pada halaman ke-10, seorang anak masih SD dan merengek untuk dibelikan handphone, dan di halaman berikutnya mungkin waktu udah dipercepat dan dia udah kuliah di UI jurusan Psikologi. Dan kemudian setelah menulisnya, lo akan tertawa melihat betapa sempurnanya kehidupan yang telah diciptakan lewat jari-jari lo yang bahkan nggak berasa ngetiknya. Percayalah, beberapa penulis nggak berasa pernah mengetik tulisan tersebut segera setelah mereka melihat hasil karya mereka. Apa itu cuma gue? Karena, terkadang, sehabis menulis sesuatu, gue suka nggak percaya ini adalah hasil yang baru saja muncul dari hasil kerjasama antara otak, mata, serta jari-jari tangan gue di atas keyboard. Kadang sesempurna itu tulisan dan kehidupan fiktif yang gue bangun sampai-sampai gue nggak sadar itu gue yang nulis.
Gue juga percaya bahwa, beberapa penulis pasti punya hati dan otak yang paling pengertian. Karena, believe me, mereka terbiasa mencari sesuatu untuk kemudian dibuat kacau dan kemudian kembali diperbaiki. Mereka terbiasa dengan masalah-masalah yang mereka buat sendiri dengan otak mereka, mencari jalan ke luar juga dengan susah payah dan kadang sampai rela nangkring di café buat menyelesaikan project nulisnya (buat beberapa penulis yang gue tahu). Dan kemungkinan juga dia bakal sangat pengertian kalau jadi teman curhat, sangking sudah terlalu terbiasa berkutat sama masalah orang. Dan ini lah yang terkadang gue rasakan dengan diri gue yang punya bakat di bidang ini; gue jadi seneng dicurhatin (soal ini di bahas di post lain kali aja, deh).
So, berhati-hatilah. Karena ketika seorang penulis sudah memutuskan untuk kembali mengetik dengan jari-jari mereka, memutuskan berhenti dari hibernasi akibat kekurangan ide; dia sedang punya rencana yang teramat dahsyat. Mereka boleh jadi sangat terlihat tenang; dengan kaki yang digoyang-goyangkan sedemikian rupa sambil menatap layar laptop terus-menerus. Tetapi apa yang ada di otak mereka? Beberapa tokoh mungkin sedang di siksa di dalam sana.

In an hour, he is about to destroy them!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Such a random thing i guess (not based on a true story lol)

a brief story about my 2019

Hari Ibu dan Sejuta Emosi yang Menyerta